Bahasa Mandarin telah menjadi salah satu bahasa internasional yang digunakan secara luas di berbagai negara. Bahasa Mandarin juga tercatat sebagai bahasa dengan penutur terbanyak dibanding bahasa-bahasa lainnya di dunia. Perkembangan Bahasa Mandarin saat ini tentu telah melalui perjalanan panjang dari masa ke masa. Salah satu yang menarik untuk diikuti adalah perkembangan Bahasa Mandarin di Indonesia.
Universitas Universal (UVERS) dan Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin mengulas secara lengkap jejak sejarah perkembangan tersebut melalui berbagai catatan serta penelitian melalui webinar bertajuk “Sejarah Perkembangan Pendidikan Bahasa Mandarin di Indonesia”. Webinar yang dilaksanakan pada Sabtu (28/11) tersebut menghadirkan Dr. Herman, MTCSOL selaku Dekan Fakultas Pendidikan, Bahasa, dan Budaya sebagai pembicara. Dalam kesempatan tersebut, ia memaparkan secara lengkap berbagai temuan penelitiannya tentang perkembangan Pendidikan Bahasa Mandarin.
Dr. Herman, MTCSOL menyebutkan bahwa Bahasa Mandarin telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Hal tersebut dimulai sejak Abad ke 2 sebelum masehi saat utusan Dinasti Han mendatangi Asia Tenggara dan diyakini sempat singgah di Indonesia, khususnya Pulau Sumatera. Tren tersebut diikuti dengan datangnya para pejabat utusan, pedagang, dan bhikku dari Dinasti Qin diantara tahun 317 hingga tahun 420. Kedatangan bangsa Tiongkok ke Indonesia bahkan berlangsung hingga abad ke 10.
Pendidikan Bahasa Mandarin diyakini mulai muncul di Indonesia sejak sebelum tahun 1901. Berdasarkan catatan yang dihimpun melalui penelitian, Dr. Herman, MTCSOL menyampaikan bahwa pada tahun 1690 mulai didirikan tempat belajar tentang budaya leluhur Tiongkok oleh Guo Gen Guan. Sedangkan pada tahun 1789 bediri Ming De Xue Yuan di Jalan Petak Sembilan di Kota Batavia. Setelah itu, muncul tren pendirian sekolah-sekolah tionghoa di berbagai daerah, misalnya Chen Ting Feng mendirikan sekolah tionghoa di Pontianak, Li Yuan Gen di Bandung, dan Lin Qin Cheng di Jakarta. Tren tersebut berkembang hingga tahun 1900, saat itu tercatat terdapat 439 lembaga pembelajaran Pendidikan Bahasa Mandarin di Indonesia.
Pada medio tahun 1901 hingga 1912, Dr. Herman, MTCSOL menjelaskan bahwa banyak sekolah Pendidikan Bahasa Mandarin yang didirikan secara resmi. Masa ini ditandai dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan pada tahun 1900, yang berkembang menjadi pendirian sekolah tionghoa resmi pertama pada Maret 1901 dengan nama Zhong Hua Xue Tang. Dengan didirikannya Zhong Hua Xue Tang, Bahasa Mandarin secara resmi digunakan dalam proses pembelajaran, sedangkan masa-masa sebelumnya mayoritas sekolah tionghoa menggunakan dialek daerah tionghoa sebagai bahasa pengantar.
Berkaca pada keberhasilan Zhong Hua Xue Tang, banyak sekolah tionghoa lain yang berubah nama menjadi Zhong Hua Xue Tang. Keberhasilan tersebut ditandai dengan bertambahnya 50 sekolah tionghoa di Pulau Jawa. Hingga tahun 1912 kembali bertambah 65 sekolah tionghoa di Pulau Jawa. Perkembangan tersebut diikuti dengan dibukanya sekolah tionghoa di daerah lain seperti Aceh, Medan, Siantar, Riau, Tanjungpinang, dan berbagai daerah di Indonesia. Efeknya, di luar Pulau Jawa tercatat telah berdiri 140 sekolah tionghoa pada tahun 1926.
Dr. Herman, MTCSOL menguraikan bahwa perkembangan tersebut semakin maju pada tahun 1930 yang ditandai dengan berdirinya 425 sekolah tionghoa, dan bertumbuh menjadi 500 sekolah pada tahun 1941. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari fenomena datangnya banyak orang Tiongkok ke Indonesia pada tahun 1930an. Meskipun sempat dibatasi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, tahun 1946 menjadi tahun kebangkitan kembali Pendidikan Bahasa Mandarin. Pada masa ini, didirikan banyak sekolah menengah sembari menghidupkan kembali sekolah-sekolah yang telah eksis sebelumnya.
Setelah perang dunia kedua berakhir, fenomena Pendidikan Bahasa Mandarin di Indonesia menjadi berbeda dari sebelumnya. Pada masa ini, Pendidikan Bahasa Mandarin memiliki 2 kiblat yang dijadikan pedoman, yaitu Bahasa Mandarin Taiwan dan Bahasa Mandarin Tiongkok Daratan. Saat itu, guru dan siswa sekolah tionghoa wajib tercatat sebagai Warga Negara Indonesia. Bentuk pendidikannya juga dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan resmi dan pendidikan malam hari. Ironisnya, Pendidikan Bahasa Mandarin di Indonesia juga sempat mengalami masa-masa sulit. Dimulai dari dilarangnya pembelajaran Bahasa Mandarin di desa-desan pada tahun 1958 hingga 1966 dan penutupan sekolah tionghoa pada tahun 1966 hingga 1998.
Pendidikan Bahasa Mandarin di Indonesia bangkit kembali pada tahun 1998 saat Presiden B.J. Habibie mengizinkan pendirian lembaga-lembaga kursus Bahasa Mandarin. Hal tersebut diperkuat saat Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan Bahasa Mandarin dipelajari secara umum di sekolah-sekolah pada tahun 2001. Sejak saat itu, Bahasa Mandarin dipelajari secara luas oleh berbagai kalangan meskipun bukan berasal dari suku Tionghoa. Hingga pada akhirnya Bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan Han Yu (pembelajaran bahasa asing) dan Hua Yu (pembelajaran bahasa suku). (AS)