Sobat UVERS pasti nggak asing lagi dong sama istilah “aura farming” yang lagi rame banget di timeline? Beberapa waktu lalu, warganet digegerkan dengan video Pacu Jalur yang menampilkan tarian anak kecil di ujung perahu sambil tenang dan penuh percaya diri. Penampilannya itu kemudian di-tag sebagai tren viral melalui istilah Aura Farming, dan semuanya langsung ramai di sosial media. Mulai dari TikTok, Instagram, hingga akun resmi klub besar dunia.

Apa Itu Aura Farming?

“Aura Farming” adalah istilah Gen Z untuk gaya tampil penuh karisma, tapi terkesan effortless. Istilah ini mulai ramai tahun 2024, namun meledak setelah muncul video anak berusia 11 tahun bernama Rayyan Arkan Dikha menari di atas perahu Pacu Jalur yang viral secara global. Gayanya yang tenang, bold, tapi tetap natural, lalu pakai baju hitam dan kacamata membuat banyak orang langsung terpikat. Hal ini pun diangkat di beberapa media internasional seperti New York Post dan India Times.

Pacu Jalur & Aura Farming: “Tradisi Jadi Spotlight”

Pacu Jalur adalah lomba perahu panjang khas Kuantan Singingi, Riau, yang sudah ada sejak abad ke‑17. Dalam festival ini, biasanya ada seorang penari di haluan perahu (disebut Togak Luan atau Anak Coki) yang memberi semangat pendayung dengan goyangan khas. Aksi inilah yang viral di media sosial secara global setelah Rayyan tampil sebagai pusat perhatian.

Siapa Saja yang Ikutan Tren Aura Farming?

Yang bikin tren ini makin global? Banyak publik figur dan institusi besar yang ikutan Aura Farming, seperti:

  • BTS (Jungkook & V) yang menari dalam Instagram Live mereka; video ini bahkan dibagikan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia sebagai tanda apresiasi kepada mereka sebagai “aura legends”
  • Neymar, bintang sepak bola dunia, tampil bersama Barcola dalam video tersebut.
  • Travis Kelce, pemain NFL dan pacar Taylor Swift, bikin TikTok editan gerakannya gaya Aura Farming dengan tagar #Indonesia #AuraFarming
  • Klub sepakbola besar seperti PSG dan AC Milan ikut merekam video dengan caption lucu ala Aura Farming; PSG bilang, “His aura made it all the way to Paris.”
  • Steve Aoki, DJ internasional, juga joget di panggung dengan gaya latihan aura farming dan tag caption viral
  • Bahkan institusi besar seperti CRPF India dan Angkatan Laut Singapura juga mencoba gaya ini dan viral di akun resmi mereka (sumber : mediatimes)

Mengapa Ini Jadi Peluang Besar untuk Budaya Lokal?

  1. Autentis & Visual Kuat
    Video Pacu Jalur menampilkan warna, energi, semangat dalam gerak, bikin orang terpikat secara visual dan emosional.
  2. Relatable & Dikemas Kekinian
    Aura farming itu aktus dengan gaya santai tapi karismatik—pas banget dengan selera Gen Z dan platform sosial.
  3. Dukung Promosi Budaya Lokal
    Mulai dari Rayyan yang jadi Duta Pariwisata Riau, hingga momentum emas untuk potensi peningkatan wisata Riau, khususnya Kuansing.

Fenomena Pacu Jalur dan Aura Farming membuktikan bahwa tradisi bisa viral jika diceritakan dengan cara yang fresh. Generasi Gen Z punya akses, gaya, dan kreativitas untuk membawa budaya lokal ke panggung global. So, yuk jadi bagian dari cerita budaya yang mendunia, khususnya budaya lokal Indonesia.

Sumber

Baca Juga : Kecanduan Scroll? Kenalan Sama Brain Rot & Cara Ngatasinnya

“Pernahkah Anda menggigil kedinginan justru pada puncak musim kemarau? Suhu pagi hari yang menusuk, embun tebal di rerumputan, bahkan selimut tebal yang tak cukup hangat. Fenomena ini bukan sekadar perubahan cuaca biasa—melainkan gejala atmosfer yang disebut bediding.”

Indonesia dikenal sebagai negara tropis dengan musim kemarau yang identik panas dan kering. Namun di beberapa daerah, terutama di dataran tinggi dan wilayah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, terjadi fenomena unik: suhu turun drastis pada malam hingga pagi hari. Kondisi ini dikenal dengan istilah “bediding” (atau bediding dalam ejaan lokal), sebuah kata yang kini populer untuk menjelaskan cuaca “dingin menggigit” di musim kemarau.

Fenomena “bediding” disebabkan oleh dinamika atmosfer yang khas pada musim kemarau. Pada periode ini, langit cenderung cerah dan minim awan. Awan sebenarnya berfungsi sebagai “selimut” alami yang menahan radiasi panas bumi pada malam hari. Ketika awan sedikit atau hilang, panas yang disimpan permukaan bumi pada siang hari lebih mudah terlepas ke atmosfer pada malam hingga dini hari. Akibatnya, suhu permukaan turun drastis (CNBC Indonesia, 2025).

Bagi masyarakat, fenomena “bediding” membawa tantangan tersendiri. Petani perlu waspada pada kemungkinan embun beku di dataran tinggi yang dapat merusak tanaman. Penduduk lansia, balita, dan kelompok rentan juga disarankan untuk menjaga kesehatan di tengah suhu dingin mendadak. BMKG mengimbau masyarakat untuk menyiapkan pakaian hangat, menjaga kebersihan lingkungan, dan memantau prakiraan cuaca untuk mengantisipasi dampak fenomena ini (DetikNews, 2025).

Fenomena “bediding” bukan hanya semata-mata memahami soal cuaca ya sobat UVERS. Tapi sebagai pengetahuan untuk kita agar dapat siapsiaga menghadapi iklim yang cukup ekstrem untuk kesehatan dan keaman kita.

Referensi:

CNBC Indonesia. (2025, Juli 15). Langit Tak Tertutup Awan Bikin Suhu Dingin, Bediding Ini Penjelasannya. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250715164859-4-649332/langit-tak-tertutup-awan-bikin-suhu-dingin-bediding-ini-penjelasannya

DetikNews. (2025). Fenomena Bediding Diperkirakan Sampai September 2025, Ini Faktornya. Detik.com. https://news.detik.com/berita/d-8012026/fenomena-bediding-diperkirakan-sampai-september-2025-ini-faktornya

Halodoc. (2024). Mengenal Fenomena Bediding: Udara Terasa Dingin di Musim Kemarau. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/mengenal-fenomena-bediding-udara-terasa-dingin-di-musim-kemarau

Sobat UVERS pernah denger gak sih beberapa kalimat berikut? “Dia pintar karena dari sananya.” Atau “Gagal sekali, ya berarti memang bukan jalanku.”

Kalimat-kalimat ini terdengar familiar bukan? Bisa jadi pernah kamu dengar atau justru kamu sendiri yang sering mengucapkannya. Padahal, bisa jadi masalahnya bukan di kemampuan kamu tapi dari cara kamu melihat diri sendiri. Tanpa disadari, pola pikir atau mindset memengaruhi banyak hal seperti cara belajar, cara menghadapi tekanan, bahkan cara kamu menyikapi kegagalan. Ini bukan cuma teori psikologi semata tapi hal nyata yang membentuk keseharian kita sebagai pelajar, mahasiswa, atau profesional.

Lalu, apa sebenarnya yang membedakan mereka yang terus bertumbuh dan mereka yang mudah menyerah? Yuk, kita kupas lebih dalam tentang dua jenis mindset yang bisa sangat menentukan arah berkembangnya seseorang: growth mindset dan fixed mindset.

Apa Itu Fixed Mindset?

Fixed mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan dasar seperti kecerdasan atau bakat adalah sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah secara signifikan (Dweck, 2006). Individu dengan mindset ini cenderung berpikir bahwa keberhasilan hanya datang kepada mereka yang “memang sudah berbakat sejak awal”.

Nah, orang-orang dengan fixed mindset itu cenderung:

  • Menghindari tantangan karena takut gagal.
  • Mudah menyerah saat menghadapi hambatan.
  • Melihat usaha sebagai tanda kelemahan, bukan kekuatan.

Dengan kata lain, mereka lebih fokus membuktikan diri daripada memperbaiki diri.

Apa Itu Growth Mindset?

Dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success, Dweck menjelaskan bahwa orang yang memiliki growth mindset tidak melihat tantangan sebagai hambatan, melainkan kesempatan baginya untuk mempelajari hal baru agar makin berkembang.

Karakteristik utama growth mindset antara lain:

  • Melihat tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh.
  • Terus mencoba meski pernah gagal.
  • Menghargai proses dan usaha.

Dalam lingkungan Pendidikan tinggi, mahasiswa dengan growth mindset biasanya lebih terbuka untuk belajar hal baru, tidak takut salah, dan lebih tahan terhadap tekanan akademik.

Kenapa Sih Hal Ini Penting untuk Mahasiswa?

Sebagai mahasiswa, pola pikir yang kamu miliki akan menentukan cara kamu menyikapi kesulitan dalam perkuliahan, proyek, atau bahkan kehidupan sosial. Misalnya, saat kamu gagal dalam presentasi atau tidak lolos seleksi beasiswa, apakah kamu akan langsung menyerah atau mencari tahu letak kesalahan dan mencoba lagi?

Kampus sebagai ruang belajar seharusnya tidak hanya mengasah pengetahuan, tetapi juga membentuk pola pikir dan karakter. Itulah kenapa banyak program dirancang agar mahasiswa tidak hanya menguasai teori, tapi juga mampu berpikir kritis dan tangguh saat menghadapi masalah.

 

Referensi:

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House.

id.jobstreet.com/id/career-advice/article/growth-mindset-adalah-arti-contoh-cara-mengembangkan

Pernah nggak sih sobat UVERS merasa otak kayak “ngebul” gara-gara scrolling medsos tanpa henti?
Fenomena ini sekarang sering disebut “brain rot”—istilah kekinian yang menggambarkan otak kita yang jadi “lemah” atau “malas mikir” gara-gara kebanyakan konsumsi konten cepat dan dangkal.

Di tengah kemudahan akses informasi, media sosial, dan hiburan tanpa henti, “brain rot” menjadi istilah yang ramai diperbincangkan belakangan ini. Konsep ini bukan diagnosis medis resmi, tetapi istilah populer untuk menggambarkan penurunan kemampuan kognitif akibat konsumsi konten digital dangkal berlebihan.

Fenomena ini mengundang perhatian dunia, bahkan media internasional menyoroti bagaimana platform hiburan pendek seperti TikTok, reels, atau shorts memicu siklus adiktif yang membuat kita terus men-scroll, tanpa benar-benar mencerna (Kompas, 2024).

Menurut Kompas (2024), dunia mulai mengkhawatirkan “brain rot” karena platform hiburan seperti reels, TikTok, atau shorts dirancang untuk bikin kita betah menonton konten pendek terus-menerus. Akibatnya, kita jadi sulit fokus ke hal yang lebih panjang dan mendalam.

Menurut Alodokter (2024), kebiasaan ini bisa bikin kemampuan otak menurun dan berdampak ke kesehatan mental—kayak gangguan tidur atau kecemasan. Rumah Sakit MM Bogor (2024) juga mengingatkan soal risiko stres dan penurunan kualitas hidup gara-gara kecanduan layar.

Kabar baiknya, brain rot bisa diatasi!
Nggak perlu langsung puasa medsos total, tapi coba langkah-langkah ini:
✅ Batasi screen time harian (misal 1 jam untuk sosmed)
✅ Luangin waktu untuk “digital detox” mingguan
✅ Ganti konten pendek dengan bacaan berkualitas
✅ Coba meditasi atau mindfulness biar lebih sadar distraksi
✅ Olahraga dan tidur cukup
✅ Pakai teknik Pomodoro: 25 menit fokus – 5 menit istirahat

Dengan cara-cara sederhana itu, kita bisa bantu otak “sehat” lagi dan lebih siap menghadapi tugas yang butuh konsentrasi.

Yuk, kita sama-sama bijak pakai gadget! Biar kerja lebih produktif, hidup lebih tenang, dan otak tetap tajam.

Referensi :

Alodokter. (2024). Brain rot, lemah otak akibat kecanduan gadget. Diakses dari https://www.alodokter.com/brain-rot-lemah-otak-akibat-kecanduan-gadget

Kompas. (2024, Mei 19). Dunia Antisipasi Brain Rot. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/dunia-antisipasi-brain-rot

Rumah Sakit MM Bogor. (2024). Brain rot: fenomena media sosial yang mengancam kesehatan mental. Diakses dari https://rsmmbogor.com/brain-rot-fenomena-media-sosial-yang-mengancam-kesehatan-mental

Pernah nggak sih kamu buang kulit buah sambil mikir, “Sayang banget ya ini cuma jadi sampah?” Padahal, tanpa kamu sadari, sisa dapur yang kelihatan sepele itu bisa jadi penyelamat bumi dalam bentuk cairan ajaib bernama eco enzyme.

Yuk, kenalan lebih jauh sama eco enzyme dan cari tahu kenapa cairan ini lagi naik daun di kalangan pejuang hidup minim limbah.

Apa Itu Eco Enzyme?

Eco enzyme (atau kadang disebut “garbage enzyme“) adalah cairan hasil fermentasi dari limbah organik seperti kulit buah dan sayuran, dicampur dengan gula dan air. Setelah didiamkan selama beberapa minggu hingga bulan, cairan ini akan berubah menjadi larutan berwarna cokelat yang punya banyak manfaat buat lingkungan dan kehidupan sehari-hari.

Dilansir dari Waste4Change (2024), eco enzyme mengandung enzim aktif dan asam organik seperti asam asetat serta alkohol yang bisa membunuh bakteri dan membantu proses dekomposisi alami.

Manfaat Eco Enzyme yang Bikin Kamu Takjub

Nggak cuma satu dua, tapi banyak banget manfaat dari cairan satu ini. Yuk kita list bareng-bareng!

1. Pembersih Serbaguna Ramah Lingkungan

Eco enzyme bisa dipakai buat ngepel, bersihin kamar mandi, wastafel, bahkan kaca. Karena alami, kamu nggak perlu khawatir soal residu bahan kimia.

2. Menyuburkan Tanaman

Mau tanaman makin subur dan segar? Campurkan eco enzyme ke air siraman. Enzim di dalamnya bisa bantu penyerapan nutrisi tanah.

3. Netralisir Bau Tak Sedap

Eco enzyme bisa bantu ngilangin bau tak sedap dari saluran air, tempat sampah, bahkan kandang hewan peliharaan.

4. Kurangi Limbah Organik Rumah Tangga

Dengan bikin eco enzyme sendiri, kamu otomatis ikut mengurangi jumlah sampah organik yang biasanya berakhir di TPA.

5. Bantu Menjaga Kualitas Air

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa eco enzyme dapat menurunkan kadar polutan seperti COD dan BOD di badan air (Hasanah et al., 2021).

Kenapa Harus Coba Eco Enzyme?

Karena ini cara simpel untuk bantu bumi. Kamu bisa mulai dari dapur sendiri, dengan bahan yang biasanya kamu buang. Eco enzyme cocok banget buat kamu yang pengen mulai hidup lebih berkelanjutan tapi nggak tahu harus mulai dari mana.

Dan yang paling penting, eco enzyme itu gratis (selama kamu punya kulit buah dan air, hehe). Plus, bikin ini juga bisa jadi kegiatan seru bareng keluarga atau komunitas!

Sekarang kamu udah kenal kan sama si eco enzyme ini? Dari sampah jadi berkah. Dari dapur jadi solusi. Gaya hidup ramah lingkungan itu nggak harus ribet, kok. Mulai dari hal kecil yang bisa kamu kontrol sendiri seperti bikin eco enzyme. Yuk, ajak orang-orang di sekitarmu buat nyobain juga. Biar makin banyak yang sadar, makin banyak yang peduli. Karena bumi ini tanggung jawab kita bareng-bareng.

Sumber & Referensi:

  • Waste4Change. (2024). Eco Enzyme: Multipurpose Liquid from Organic Waste. https://waste4change.com
  • Hasanah, Y., Mawarni, L., & Hanum, H. (2021). Eco enzyme and its benefits for organic rice production and disinfectant. Journal of Saintech Transfer, 3(2), 119-128.
  • CLEAR Community. (2022). Eco-Enzymes: Transforming Food Waste into Cleaning Solution. https://clearcommunity.org

Baca Juga : Diet Vegan untuk Kesehatan, Sejauh Mana sih Manfaatnya?

Scroll to Top